“Menulis adalah sebuah keberanian...” ― Pramoedya Ananta Toer

Padhang Wengi

Jadilah cahaya ditengah kegelapan

Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia (Pidato Pengukuhan Prof. Boediono, Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM)

By 1:15 AM , ,


Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada 
Oleh: Prof. Dr. Boediono 

Yang saya hormati Ketua, Sekretaris dan para Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada, Yang saya hormati Ketua, Sekretaris dan para Anggota Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Yang saya hormati Rektor, para Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, Yang saya hormati Rektor, para Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada, Sivitas Akademika dan Para Hadirin yang saya muliakan, 

Suatu kebahagiaan yang tak terhingga bagi saya dapat berdiri di sini untuk menyampaikan beberapa pemikiran saya kepada sidang Majelis yang terhormat ini. Apa yang akan saya sampaikan di sini menyangkut masalah yang, menurut pandangan saya, menyentuh kepentingan kita semua sebagai warga dari bangsa ini, dan bahkan kepentingan anak-cucu kita. Masalah itu adalah mengenai reformasi yang kita laksanakan. 

Hampir sembilan tahun sudah kini bangsa Indonesia menempuh jalur perjalanan baru dalam sejarahnya, jalur demokrasi dan pluralisme. Keputusan itu kita ambil sendiri secara sadar sebagai bangsa tanpa didikte oleh siapa pun. Sekarang, setelah mengalami serentetan peristiwa sosial-politik yang menentukan sejarah bangsa dan bahkan dibarengi dengan berbagai cobaan alam, dan masih dalam suasana eforia reformasi yang belum juga reda, kita sepatutnya menghela nafas dan merenung sejenak dan menanyakan pada diri kita: ke mana arus peristiwa dan perkembangan selama ini akan membawa kita, apakah kita akan sampai pada apa yang kita impikan dulu sewaktu kita mengambil sikap sejarah yang krusial itu? Are we on the right track? Apakah ada yang perlu kita koreksi? 

Pertanyaan-pertanya an besar ini tentu tidak mungkin dijawab dalam satu jam. Namun dengan segala kerendahan hati perkenankan saya mengajak para hadirin sekalian untuk bersama saya mengeksplorasi beberapa segi penting dari pertanyaan-pertanya an tersebut. Saya sangat sadar bahwa uraian saya maksimal hanya akan dapat memberikan jawaban parsial terhadap sebagian dari pertanyaanpertanyaa n besar tersebut. 

Saya akan memulai dengan mengingat kembali apa sebenarnya yang kita inginkan sewaktu kita menggulirkan reformasi beberapa tahun lalu. Kemudian, berdasarkan itu dan mengacu kepada hasil-hasil riset yang dapat kita baca akhir-akhir ini, saya akan mencoba mendefinisikan secara umum pengertian ”jalur yang benar”. Karena hanya dengan menyepakati apa yang kita maksud dengan ”the right track”, baru kita bisa menjawab apakah kita ”on the right track”. Sisa waktu yang tersedia akan saya gunakan untuk mengupas simpul-simpul kritis sepanjang jalur perjalanan kita ke depan dan apa yang seyogyanya kita lakukan dan siapkan untuk menghadapinya. 

Tuntutan Reformasi 

Marilah kita mulai dengan mengajukan pertanyaan: sebenarnya apa motif dasar yang mendorong kita sebagai bangsa memutuskan untuk melakukan perubahan mendasar dalam tata kehidupan sosial-politik kita lebih dari delapan tahun lalu? 

Untuk memperoleh perspektif yang benar kita perlu mengingat kembali peristiwa-peristiwa sebelumnya yang membawa kita ke momen yang krusial itu. Selama lebih dari 30 tahun menakhodai negara, Orde Baru telah berhasil mengangkat kondisi kehidupan ekonomi dan sosial di Indonesia secara sangat berarti. Penghasilan per kapita meningkat dari sekitar hanya USD 70 pada pertengahan 1960an menjadi lebih dari USD 1000 pada pertengahan 1990an. Prasarana yang langsung melayani masyarakat maupun yang mendukung kegiatan ekonomi dibangun secara luas. Kemiskinan menurun drastis dan berbagai indikator kesejahteraan sosial mulai dari harapan hidup, tingkat kecukupan gizi, tingkat kematian ibu dan anak, sampai ke tingkat partisipasi pendidikan, ketersediaan air bersih dan perumahan, semuanya menunjukkan perbaikan yang berarti. Indonesia menjadi contoh pembangunan yang sukses.

Dengan perbaikan taraf hidup seperti itu, mengapa timbul keresahan dan tuntutan yang makin mengental untuk perubahan di kalangan masyarakat atau, lebih tepatnya, di antara para elite masyarakat? Jawabannya terletak pada perkembangan di segi lain dari kehidupan masyarakat Indonesia. Di tengah kemajuan itu, terutama dalam dasawarsa terakhir Orde Baru, tumbuh persepsi di kalangan masyarakat, yang makin mengental setiap hari, bahwa praktek korupsi, penyalahgunaan kewenangan di jajaran pemerintahan dan kroniisme di kalangan dunia usaha makin meluas. Meskipun pers dikendalikan, ceritera mengenai hal itu terus merebak dan kasus-kasus nyata terungkap. Rasa keadilan masyarakat terusik. Namun dalam konstelasi politik yang ada, saluran-saluran untuk kritik, disensi, protes dan koreksi, tersumbat. Keresahan dan ketidakpuasan berakumulasi, siap meledak apabila ada pemicu.

Dan pemicu itu akhirnya tiba. Krisis keuangan yang mulai muncul pada pertengahan 1997 terus memburuk dan memasuki tahun 1998 berkembang menjadi krisis ekonomi skala luas dengan dampak negatif yang langsung dirasakan oleh masyarakat banyak. Harga barang kebutuhan pokok naik tajam dan PHK terjadi dimana-mana. 3 Keresahan yang semula sebatas kalangan elite berkembang menjadi ketidakpuasan sosial yang akhirnya menjadi kerusuhan masal. Indonesia memasuki tahap krisis multidimensi dan perubahan politik mendasar kemudian terjadi. 

Dari peristiwa yang penuh ketegangan dan hiruk-pikuk itu tidak mudah untuk menyarikan aspirasi masyarakat yang berkembang pada waktu itu. Namun apabila kita telusuri motif dasar gerakan reformasi, barangkali empat tema merangkum sebagian besar dari tuntutan tersebut, yaitu: (1) perbaikan ekonomi, (2) perbaikan tata pemerintahan atau governance, (3) supremasi hukum dan (4) demokrasi. Singkatnya, masyarakat menginginkan Indonesia yang makmur, bersih dari KKN, taat hukum dan demokratis.4 Bukan tuntutan yang mudah, tapi itulah keinginan rakyat.

The “Right” Track 

Sekarang marilah kita kembali kepada pertanyaan: Are we on the right track? Agar jelas arah pembahasan saya, perkenankan saya memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini sejak awal. Dengan berbagai catatan penting yang akan saya uraikan nanti, jawaban terhadap pertanyaan tersebut adalah: ya, kita di jalur yang benar. Ini samasekali tidak berarti bahwa kita sudah pasti akan sampai pada tujuan yang kita inginkan. Tidak ada jaminan seperti itu. Pada setiap tahap dalam perjalanan, kita sebagai bangsa harus melewati momen pilihan dan titik persimpangan yang memerlukan keputusan dan langkah strategis. Marilah kita melihat lebih dalam apa yang kita maksud dengan “the right track”. 

Tidak ada suatu jalur yang paling benar. Sejarah mencatat bahwa rute yang dilalui oleh berbagai bangsa sangatlah beragam. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita tidak dapat mengidentifikasi pola-pola umum dalam sejarah kemajuan bangsa-bangsa. Identifikasi pola-pola umum dan penjelasannya merupakan bagian penting dari kegiatan para ahli sejarah dan ilmu sosial lainnya. Sekarang sudah banyak studi, baik teoritis maupun empiris, yang dapat membantu kita untuk menjawab pertanyaan: pola-pola umum mana yang terbuka bagi kita. Bagi Indonesia pilihan itu sebenarnya lebih mudah, karena gerakan reformasi telah menjatuhkan pilihannya pada jalur demokrasi. Dalam literatur ekonomi-politik terdapat kristalisasi pandangan mengenai garis besar proses transformasi dari masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup dan tidak demokratis menuju masyarakat yang makmur, terbuka dan demokratis.

Fondasi Ekonomi. Salah satu kristalisasi pandangan itu adalah mengenai fondasi ekonomi dari demokrasi. Intinya adalah bahwa pada tahap awal perjalanannya masyarakat berpenghasilan rendah, tertutup dan belum demokratis seyogyanya pembangunan ekonomi lebih dahulu.5 akal karena pada tingkat penghasilan rendah, masyarakat akan disibukkan oleh kegiatan yang paling mendasar, yaitu bagaimana memenuhi kebutuhan hidupnya dari hari ke hari. Kebutuhan atau (menggunakan jargon ekonomi) ”permintaan” akan demokrasi akan bersemi pada tingkat hidup yang lebih tinggi dan tingkat pendidikan yang lebih tinggi.6 Pengalaman berbagai negara juga menunjukkan memusatkan upayanya pada Secara intuitif dalil ini masuk bahwa begitu permintaan akan demokrasi ini merebak dan memperoleh momentumnya, biasanya tidak bisa dihentikan lagi.7 Kita bisa perdebatkan, tetapi menurut penilaian saya Indonesia saat ini sudah mencapai tahap ini. 

Sejumlah studi juga menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu penting bagi keberlanjutan demokrasi. Suatu studi yang banyak diacu menyimpulkan bahwa, berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rejim demokrasi di negara-negara dengan penghasilan per kapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP)-dolar tahun 2001) mempunyai harapan hidup hanya 8 tahun. Pada tingkat penghasilan per kapita 1500-3000 dolar, demokrasi dapat bertahan rata-rata 18 tahun. Pada penghasilan per kapita di atas 6000 dolar daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500.8 Posisi Indonesia di mana? Apabila kita hitung berdasarkan PPP-dolar 2006 penghasilan per kapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar sedangkan batas kritis bagi demokrasi sekitar 6600 dolar. Kita belum 2/3 jalan menuju batas aman bagi demokrasi. Kita akan kembali membahas ini nanti. 

Sejumlah studi empiris lain, terutama oleh para ekonom, menyimpulkan bahwa demokrasi bukan penentu utama prestasi ekonomi.9 Menurut pandangan ahli-ahli ini, terutama bagi negara-negara berpenghasilan rendah, rule of law lebih menentukan kinerja ekonomi daripada demokrasi per se. Apabila kesimpulan ini benar maka negaranegara berpenghasilan rendah dapat memacu pertumbuhan ekonominya, meskipun mereka belum siap menerapkan demokrasi, asalkan mereka dapat memperbaiki rule of law. Tetapi, seperti yang saya singgung tadi, dengan meningkatnya kemakmuran demokrasi akan makin ”diminta” oleh masyarakat. Sementara itu, pada tahap ini demokrasi juga makin penting bagi keberlanjutan pembangunan ekonomi. Seorang ahli ekonomi pembangunan kenamaan melihat demokrasi sebagai suatu meta-institution atau institusi induk yang dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya institusi-institusi lain yang berkualitas, artinya efektif dan dengan tatakelola atau governance yang baik.10 Hal ini penting mengingat konsensus yang sekarang berkembang di kalangan ahli dan praktisi adalah bahwa mutu institusi atau governance merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Apabila institusi yang baik menentukan keberhasilan pembangunan, dan demokrasi adalah sistem yang kondusif bagi perkembangan institusi semacam itu, maka demokrasi menjadi penentu bagi pembangunan ekonomi. Pada tahap kemajuan ekonomi yang makin tinggi, pertumbuhan ekonomi akan makin mengandalkan pada fleksibilitas sistem ekonominya, kemajuan teknologi dan peningkatan mutu faktor produksi, yang kesemuanya bersumber dari inisiatif dan inovasi oleh para pelaku ekonomi. Dan kita tahu bahwa inisiatif dan inovasi tumbuh paling subur di alam demokrasi. 

Jadi apa kesimpulan umum kita? Pada tahap awal, pembangunan ekonomi diprioritaskan karena hal itu akan sangat mengurangi risiko kegagalan demokrasi. Pada tahap selanjutnya interaksi antara ekonomi dan demokrasi makin erat dan keberadaan demokrasi makin menentukan kinerja ekonomi dan keberlanjutannya. Tetapi demokrasi adalah tanaman jangka panjang. Menabur benih lebih dini lebih baik. Dilema12. Dilema mendasar yang dihadapi demokrasi, sejak Plato, adalah bagaimana memadukan rasionalisme dengan populisme, pemerintahan yang efektif dengan pemerintahan yang representatif, teknokrasi dengan demokrasi.

Dilema. Dilema mendasar yang dihadapi demokrasi, sejak Plato, adalah bagaimana memadukan rasionalisme dengan populisme, pemerintahan yang efektif dengan pemerintahan yang representatif, teknokrasi dengan demokrasi. Dilema ini sangat kongkrit, dan akut, bagi demokrasi yang baru berkembang, seperti di negara kita. Di satu sisi, kita ingin memacu pembangunan ekonomi yang pada hakekatnya memerlukan langkah cepat dan kebijakan ekonomi yang rasional, konsisten dan berwawasan jangka panjang – short term pain for long term gain. Di sisi lain, sistem politik yang berjalan, karena mekanisme yang belum mantap, tidak mendukung pengambilan keputusan yang cepat dan decisive. Risiko distorsi terhadap kebijakan yang rasional juga tinggi karena tidak jarang kepentingan sempit dan jangka pendek mendominasi wacana pengambilan keputusan di lembaga legislatif dan bahkan eksekutif, tanpa ada mekanisme koreksi yang efektif. Inilah sebabnya mengapa para ahli berpendapat bahwa kebijakan ekonomi, sampai batas tertentu, perlu di-insulasikan dari hiruk-pikuk politik sehari-hari. Independensi bank sentral, yang sekarang sudah umum diterima, adalah satu perwujudan dari pemecahan dilema ini. Apakah pemecahan serupa dapat diterapkan di bidang lain seperti kebijakan fiskal, industri dan perdagangan atau lingkungan hidup, sekarang masih diperdebatkan para ahli. 

Yang penting, posisi strategis mengenai imbangan antara teknokrasi dan demokrasi harus diambil oleh setiap bangsa pada setiap tahap perjalanannya. Di masa Orde Baru, dengan plus dan minusnya, proses kebijakan ekonomi diproteksi dari proses politik sehari-hari, paling tidak selama dua dasawarsa pertama. Sekarang, format itu tidak cocok lagi. Format yang baru harus kita temukan dan posisi strategis yang pas harus kita ambil. Ia tidak bisa dibiarkan hanya sebagai hasil sampingan dari proses politik praktis. Taruhannya terlalu besar. 

Kelompok Pembaharu. Sejarah menunjukkan bahwa keberhasilan proses transformasi menuju masyarakat yang makmur, demokratis dan terbuka Kelompok inilah yang menjadi ujung tombak dan pengawal proses transformasi itu. Tanpa kelompok pembaharu, proses transformasi akan berisiko mandeg atau keluar dari jalur yang kita inginkan. Pertumbuhan ekonomi membantu tumbuhnya kelompok pembaharu, tapi ia harus memenuhi 2 syarat, yaitu: (1) pertumbuhan itu menyentuh dan dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat (broad based) dan (2) prosesnya lebih mengandalkan pada kegiatan berdasarkan hasil kerja, inisiatif dan ingenuitas sumberdaya manusianya dan bukan semata dari hasil penjualan kekayaan alam, bantuan luar negeri atau pada rezeki nomplok lainnya. Untuk mendukung berkembangnya kelompok pembaharu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja tidak cukup. Dua syarat tersebut harus juga dipenuhi. 

Siapakah kelompok pembaharu itu dan apa peran mereka dalam proses transformasi? 13 Sejarah mencatat bahwa kelompok ini bisa datang dari latarbelakang sosial yang berbeda. Di Inggris pada tahap krusial transformasinya inti dari kelompok pembaharu adalah para pengusaha – atau kaum borjuis. Istilah kaum borjuis mempunyai konotasi buruk di negeri ini karena dikaitkan dengan teori Marx yang memposisikannya sebagai kelas yang menguasai alat-alat produksi masyarakat dan menggunakannya untuk mengeksploitir buruh. Dalam konteks teori sosial non-Marxist kelompok ini diposisikan lebih netral. Studi para ahli sejarah ekonomi umumnya melihat bahwa di Inggris kelompok ini telah berperan sebagai pembaharu sosial, pada awalnya dalam meruntuhkan struktur feodal yang ada dan selanjutnya menjadi ujung tombak dan pengawal proses modernisasi dan demokratisasi14. Pola seperti itu kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa lainnya. Di Amerika Serikat proses transformasi oleh kelompok ini berlangsung lebih cepat karena dari awal tidak ada struktur feodal yang harus diruntuhkan. 

Di negara-negara seperti Jerman dan Jepang kaum borjuis, paling tidak pada tahap awalnya, bukan penggerak utama transformasi. Mereka tidak sekuat dan se-independen rekan-rekannya di Inggris atau Amerika Serikat. Di Jerman, justru kaum birokrat (yang terdiri dari para exaristokrat) yang menjadi kelompok pembaharu. Jerman pada abad 19 mempunyai sistem birokrasi paling modern di dunia dan, melalui reformasi birokrasi, mereka menciptakan rule of law yang mantap dan sistem jaminan sosial modern. Di Jepang cikal-bakal dari kelompok pembaharu adalah kaum samurai yang mentransformasikan diri menjadi motor penggerak modernisasi. Di Jerman dan terutama di Jepang proses modernisasi tidak serta merta melahirkan demokrasi. Di kedua negara ini, demokrasi baru berakar setelah Perang Dunia II. Dan prosesnya pun tidak sepenuhnya berasal dari dinamika intern, tetapi sebagian karena tekanan dari negara-negara penakluknya, khususnya Amerika Serikat, yang menginginkan demokrasi diterapkan di negara-negara tersebut. 

Bagi negara berkembang barangkali akan terlalu lama untuk menunggu terbentuknya kelompok pembaharu secara alamiah seperti di negara-negara tersebut. Negara berkembang seyogyanya tidak mengandalkan satu atau dua kelompok sosial saja sebagai kelompok pembaharunya. Yang terbaik adalah mendorong terbentuknya koalisi luas, yang terdiri dari para demokrat dari semua segmen sosial. Kelompok pembaharu ini dapat meliputi unsur-unsur reformis dari kaum pengusaha, intelektual, profesional, birokrat, pemuda, aktivis LSM dan lain-lain. Mereka diikat oleh kesamaan platform, yaitu memperjuangkan nilai-nilai demokrasi seperti hak asasi manusia, keterbukaan, kebebasan berusaha, good governance, rule of law dan sebagainya. Di sementara negara berkembang, termasuk Indonesia, kelompok semacam ini sudah mulai terbentuk dan berperan, meskipun masih terbatas. Mereka adalah elemen strategis dalam proses modernisasi dan demokratisasi. 14 Landes (1999) 

Jalur Yang Penuh Risiko. Proses modernisasi dan demokratisasi adalah perjalanan yang panjang dan penuh risiko.15 Ada yang mengibaratkan alur tranformasi itu sebagai kurva-J yang menggambarkan risiko kegagalan yang besar pada awal proses itu tetapi kemudian berangsur menyurut pada tahap selanjutnya. 16 Ada yang menggambarkannya sebagai proses meniti jalur yang penuh pusaranpusaran vicious circles dan, kalau beruntung, virtuous circles.17 Ada pula yang menggambarkannya sebagai perjalanan di jalan yang penuh persimpangan yang menuntut keputusan yang benar.18 Proses sejarah tidak mengenal belas kasihan. Hanya bangsa yang mempunyai pandangan ke depan, keyakinan, keuletan dan kecerdasan yang dapat menyelesaikan perjalanannya. Yang lainnya tidak beranjak dari posisi awalnya, atau menjadi negara gagal (failed states) atau bahkan hilang dari peta sejarah. Hukum Darwin juga berlaku bagi seleksi antara bangsa. 

Jalur Kita Ke Depan 

Dalam uraian kita tadi, tersirat risiko-risiko yang mungkin dihadapi oleh bangsa yang hendak melaksanakan modernisasi dan demokratisasi. Marilah kita sekarang mencermati risiko-risiko tersebut secara lebih mendalam, dan sekaligus mengkaitkannya dengan kondisi yang dihadapi bangsa kita dewasa ini. Saya akan menguraikannya di bawah tiga rubrik besar, yaitu: 
(1) Kohesi sosial 
(2) Kinerja ekonomi dan
(3) Kelompok pembaharu

Kohesi sosial. Syarat yang paling mendasar bagi keberhasilan proses transformasi setiap bangsa adalah kemampuannya untuk mempertahankan eksistensi dan keutuhannya sepanjang perjalanan. Pada akhirnya kemampuan itu tergantung pada kekuatan kohesi sosialnya. Setiap bangsa memiliki kapasitas kohesi sosial yang berbeda. Ada bangsa yang – karena sejarah, kultur dan struktur sosialnya – mempunyai kohesi sosial yang kuat dan tahan terhadap tekanan dan bantingan. Jepang, Korea dengan kultur yang homogen adalah contoh untuk ini. Bangsa lain, seperti India dan Indonesia, karena keragaman kultur dan heterogenitas masyarakatnya, memiliki daya tahan yang intrisik lebih rendah. Bangsa lain yang kurang beruntung, seperti Yugoslavia dan Irak, memiliki sejarah panjang pertikaian antar kelompok di dalamnya, sehingga begitu orang kuat pemersatunya tiada, pertikaian muncul kembali dan bangsa itu pecah.

Yang perlu diwaspadai, terutama pada tahap-tahap awal yang rawan, adalah bahwa suatu bangsa harus pandai-pandai menjaga keseimbangan antara kekuatan kohesi sosialnya di satu sisi dan kecepatan perubahan yang ingin dilaksanakannya di sisi lain. Setiap perubahan selalu membawa stress dan strain. Imbangan mana yang paling tepat bagi suatu bangsa, pada akhirnya terpulang pada kenegarawanan dan kearifan pemimpin bangsa atau kaum elitenya.

Dari segi kekuatan kohesi sosialnya Indonesia barangkali termasuk dalam kelompok peringkat sedang. Kita beruntung karena kita tidak mempunyai sejarah perseteruan yang mendalam antar kelompok, suku dan agama di antara kita, seperti di Yugoslavia dan Irak. Kita beruntung karena para pejuang kemerdekaan dan pendiri bangsa ini telah berhasil menempa kesadaran berbangsa yang sampai sekarang tetap kokoh dan merupakan modal politik bangsa. Namun kita patut selalu menyadari pula bahwa bangsa kita memiliki keragaman budaya, agama, tradisi dan bahkan temperamen yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Kita perlu tetap ingat bahwa separatisme bukan hal yang asing dalam sejarah kita sejak kemerdekaan, meskipun tidak pernah menjadi kekuatan dominan. Demokratisasi, desentralisasi, modernisasi dan transformasi menuju keterbukaan, apabila tidak dikelola dengan arif, dapat menciptakan kekuatan-kekuatan sentrifugal. Sebaliknya, pendidikan, pertumbuhan ekonomi yang tersebar (broad based) dan penerapan good governance akan memperkuat kohesi sosial.19

Yang juga perlu kita ingat adalah bahwa modal politik berupa kesadaran berbangsa yang diwariskan oleh para pendahulu kita, meskipun sampai sekarang masih tetap kuat, dengan pergantian generasi akan terus berkurang apabila tidak ada upaya sadar untuk mengisinya kembali. Upaya nation building dari para pendiri bangsa ini belum selesai dan mungkin tidak pernah selesai. Kita wajib meneruskannya, meskipun (atau lebih tepatnya, justru karena) kita hidup dalam era globalisasi. Kita mendambakan suatu kesadaran kebangsaan memaknai bahwa, apapun perbedaan kita, kita tetap saudara, bahwa lawan politik adalah lawan bertanding dan bukan musuh yang harus dilenyapkan. Seperti kata ki dalang: Tego larane ora tego patine. Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan. Hanya apabila kita telah mendekati kematangan berbangsa seperti itu kita dapat sedikit relaks dalam upaya nation building kita. Tapi itu adalah kemewahan yang barangkali baru akan dinikmati oleh anak-cucu kita.

Stagnasi, Kemunduran dan Krisis Ekonomi. Risiko besar lain yang menghadang perjalanan transformasi bangsa adalah stagnasi ekonomi, atau kemunduran ekonomi atau, lebih serius lagi, krisis ekonomi. Apabila ini terjadi besar kemungkinan proses transformasi akan kandas di tengah jalan. Tadi saya mensitir sebuah studi yang mengatakan bahwa sistem demokrasi di negara dengan penghasilan per kapita rendah (di bawah 6600 PPP-dolar 2006) rawan terhadap kegagalan. Saya juga sebutkan bahwa prioritas utama bagi negaranegara berpenghasilan rendah seyogyanya adalah tumbuh untuk secepatnya meninggalkan daerah penuh risiko ini. Stagnasi, apalagi kemunduran ekonomi, akan meningkatkan lagi risiko kegagalan demokrasi yang sudah tinggi bagi negara-negara tersebut. Krisis ekonomi hampir pasti akan menjatuhkan rejim politik yang ada – yang akan menimbulkan diskontinuitas dalam perjalanan bangsa itu.

Pengalaman Indonesia sendiri membuktikan dalil tersebut. Mari kita menoleh ke belakang sejenak.20 Pada masa Demokrasi Parlementer 1950-58 ketidakstabilan politik yang dicerminkan oleh kabinet yang terlalu sering berganti mengakibatkan kebijakan ekonomi yang terputusputus dan tidak efektif. Problema defisit ganda – defisit APBN dan neraca pembayaran – tak tertangani dengan baik, stabilitas ekonomi makin memburuk dan pertumbuhan ekonomi lambat.21 Karena tidak dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat banyak, sistem politik yang ada makin kehilangan legitimasinya. Kegagalan di bidang ekonomi, menyebabkan eksperimen demokrasi kita yang pertama setelah kemerdekaan gagal.

Sistem politik yang menggantikannya, Demokrasi Terpimpin – Sistem politik yang menggantikannya, Demokrasi Terpimpin – 65 menjanjikan pemerintahan yang lebih stabil dan peran negara yang lebih besar dalam pengendalian kehidupan ekonomi. Namun sistem ini juga tidak dapat memberikan hasil yang didambakan masyarakat. Inflasi lepas kendali, produksi nasional merosot dan kehidupan sehari-hari semakin berat. Pada waktu itu bangsa kita sebenarnya mengalami suatu krisis ekonomi yang berat, yang akhirnya bermuara pada perubahan sistem politik.22 Bagi generasi yang mengalami masa itu (termasuk saya sendiri) tentu masih ingat betapa sulitnya kehidupan sehari-hari pada waktu itu. Namun, di tengah-tengah kesulitan hidup itu kita, terutama mereka yang muda usia, juga merasakan adanya suatu kebanggaan yang luar biasa di hati kita masing-masing sebagai warganegara dari bangsa yang, di arena internasional, disegani dan terkadang ditakuti. Namun itu semua tidak mengubah berlakunya dalil bahwa kemerosotan ekonomi, apalagi krisis ekonomi, berakibat fatal terhadap suatu orde politik.

Masa Orde Baru 1966-98 adalah masa kestabilan politik yang terpanjang dalam sejarah Indonesia merdeka. Kestabilan politik itu telah memungkinkan dilaksanakannya kebijakan ekonomi yang konsisten dan berkesinambungan. Hasilnya berupa pertumbuhan ekonomi sebesar ratarata 7% selama tiga dasawarsa yang dibarengi dengan stabilitas ekonomi yang cukup mantap, pembangunan infrastruktur besar-besaran yang memperlancar kegiatan ekonomi dan makin menyatukan Indonesia serta perbaikan yang berarti dari berbagai indikator sosial dan pembangunan manusia. Pada gilirannya semua perbaikan itu makin memperkuat stabilitas politik, sampai terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997. Suatu prestasi sosial-ekonomi yang, kalau kita jujur, sangat mengesankan. 23

Orde ini akhirnya jatuh karena konfluensi dari paling tidak tiga perkembangan, yaitu: akumulasi dari kepengapan politik, makin meluasnya kroniisme dan korupsi, dan pada tahap akhirnya, kondisi kehidupan yang berat sebagai akibat dari krisis ekonomi. Krisis tersebut menyingkap kelemahan dan kerentanan institusional yang sebelumnya terselubung oleh tempo ekonomi yang tinggi. Lembaga-lembaga penting penyangga kehidupan ekonomi dan masyarakat serta pemerintahan mengalami paralisis atau semi-paralisis dengan akibat antara lain respons kebijakan yang tidak koheren terhadap krisis. Kemudian terjadilah reaksi berantai yang membawa Indonesia ke jurang krisis yang lebih dalam.

Masa Orde Baru memberikan paling tidak tiga pelajaran. Pertama, kinerja ekonomi yang berkesinambungan disertai perbaikan taraf hidup masyarakat luas merupakan syarat wajib (necessary conditions) bagi kelangsungan hidup suatu orde politik. Kedua, dalam jangka panjang selain kinerja ekonomi yang mantap, kelangsungan hidup suatu orde politik ternyata juga ditentukan oleh faktor-faktor lain, yaitu keterbukaannya dan mutu tatakelola atau governance-nya (sufficient conditions). Ketiga, dalil bahwa krisis ekonomi yang berat diikuti oleh pergantian orde politik kembali terbukti.

Alur sejarah kita menggambarkan suatu progresi proses challenge and response. Pada akhir masa Demokrasi Parlementer rakyat mendambakan pemerintahan yang stabil dan kuat untuk memecahkan masalah bangsa. Respons yang timbul adalah orde Demokrasi Terpimpin yang menjanjikan pemerintahan yang kuat dan stabil. Pemerintahan memang tidak lagi jatuh bangun, tetapi kehidupan ekonomi makin memburuk. Pada akhir masa orde ini tuntutan masyarakat yang paling dominan adalah perbaikan ekonomi. Orde Baru berhasil menjawab tuntutan ini dengan mewujudkan perbaikan ekonomi dan sosial yang mengesankan, tetapi gagal merespons tuntutan lain yang makin mengkristal, yaitu dambaan akan demokrasi, keterbukaan, pemberantasan KKN dan penegakan hukum.

Orde Reformasi kemudian lahir, dan jangan lupa Universitas Gadjah Mada ikut membidaninya! Orde ini mencoba menjawab tantangan tersebut. Sampai saat ini sudah ada empat presiden yang, dengan gaya beliau masing-masing dan dalam konteks situasi kongkrit yang dihadapi, telah berupaya melaksanakan amanah ini dengan sebaikbaiknya. Pergantian presiden tidak mengganti orde politik. Suatu pertanda baik bagi kestabilan sistem politik. Di negeri ini demokrasi sudah mekar dan bersemi, meskipun unsur-unsurnya belum berfungsi sepenuhnya seperti yang kita inginkan. Keterbukaan dan kebebasan berpendapat, dengan plus dan minusnya, sudah merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan di bidang ini Indonesia diakui yang paling maju di kawasan ini. sudah bergulir, meskipun meragukan keberlanjutannya. sudah mulai kelihatan bentuknya dan langkah-langkah awal sudah diambil, meskipun kepastian hukum masih tetap menjadi keluhan utama dari para investor.

Menurut hemat saya, kita sekarang berada pada jalur menuju tuntutan reformasi, meskipun masih banyak PR yang belum selesai. Risiko utama yang kita hadapi pada tahap ini adalah apabila kita sebagai bangsa kehilangan gairah dan stamina untuk melanjutkan perjalanan kita, atau apabila kita kehilangan kepercayaan atau kesabaran pada proses reformasi yang kita jalankan, atau apabila kita asyik terlena dalam eforia dan hingar-bingar ”demokrasi” sehingga melupakan tujuan reformasi yang sebenarnya. Apabila itu terjadi, maka itu sungguh sebuah tragedi (lagi) dalam sejarah bangsa kita. Pengalaman kita menunjukkan bahwa kemungkinan- kemungkinan seperti itu bukanlah sekedar risiko teoritis.

Marilah kita kaitkan kondisi kita saat ini dengan hasil-hasil penelitian empiris yang telah saya singgung di muka. Kenyataan yang perlu kita waspadai adalah bahwa dari segi penghasilan per kapita, kita masih berada pada zona risiko tinggi untuk keberhasilan demokrasi. Seperti yang telah saya sebutkan penghasilan per kapita Indonesia pada tahun 2006 (atas dasar PPP-dolar 2006) diperkirakan sekitar 4000 dolar, masih agak jauh dari batas aman 6600 dolar.

Strategi yang terbaik Pemberantasan KKN secara sistematik ada sementara kalangan yang masih Kerangka reformasi di bidang hukum adalah untuk secepatnya meninggalkan zona bahaya ini. Marilah kita berhitung sejenak. Seandainya kita, dengan segala upaya kita, berhasil menumbuhkan ekonomi kita dengan 7% setahun, maka dengan laju pertumbuhan penduduk 1,2% setahun penghasilan per kapita kita akan tumbuh dengan sekitar 5,8% setahun. Dengan laju ini kita akan mencapai ambang zona aman dalam 9 tahun. Apabila PDB kita tumbuh di bawah 7% waktu untuk mencapai zona aman bagi demokrasi tentu lebih panjang lagi. Yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa 9 tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mengawal demokrasi Indonesia yang baru mekar. Risiko-risiko yang saya sebutkan tadi dapat terjadi. Tanpa harus mengorbankan demokratisasi yang kita jalankan, hambatanhambatan terhadap pertumbuhan ekonomi yang timbul karena proses demokrasi atau, apalagi, karena ekses-eksesnya, harus kita hilangkan. Kita harus berani mengambil posisi strategis yang jelas mengenai imbangan antara teknokrasi dan demokrasi. Ini semua justru demi keberlanjutan demokrasi itu sendiri.

Kelas Pembaharu. Seperti yang telah saya sebutkan tadi, salah satu simpul kritis dalam pembangunan demokrasi adalah terciptanya suatu kelas pembaharu yang handal yang berperan sebagai pendorong dan pengawal demokratisasi. Saya ingin tegaskan bahwa demokrasi di sini harus kita artikan secara substantif dan mencakup tidak hanya mekanisme formal demokrasi (pemilihan umum yang bebas dan terbuka, multi-partai, pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, peran pers dan organisasi kemasyarakatan dan sebagainya), tetapi juga nilai-nilai dasar yang memberi sukma pada demokrasi. Pembedaan antara demokrasi dalam arti mekanisme formalnya dan demokrasi dalam arti substantif, teramat penting karena tidak jarang kita merasa bahwa hampir semua persyaratan formal demokrasi telah kita penuhi, tetapi kita kecewa karena dalam kehidupan nyata kita belum merasakan suasana demokrasi seperti yang dijanjikan konseptornya atau seperti yang dinikmati oleh masyarakat di negara demokrasi yang telah mapan. Itu adalah kasus demokrasi tanpa sukma.

Tanpa adanya kelas pembaharu yang handal proses demokratisasi akan menghasilkan demokrasi tanpa sukma, atau berhenti di tengah jalan, atau berjalan tanpa arah atau, lebih buruk, melahirkan antitesis dari demokrasi. Kemungkinan- kemungkinan ini pernah terjadi dalam sejarah bangsa-bangsa.

Saya akan mengambil beberapa contoh.

Pengalaman Sejarah. Haiti adalah sebuah republik yang secara formal demokratis selama lebih dari 200 tahun setelah mendapatkan kemerdekaan dari Perancis pada tahun 1804. Sekarang Haiti tetap negara miskin dengan penghasilan per kapita USD 450 dan hampir selalu dirundung kekacauan setiap pergantian pemerintahan (yang dalam kenyataan memerintah dengan cara yang jauh dari kaidah-kaidah demokrasi). Masalah utamanya, menurut hemat saya, adalah karena tidak pernah ada kelompok masyarakat yang mampu berperan sebagai pengawal demokrasi beserta nilai-nilai dasarnya.

Kontraskan Haiti dengan India. Pada saat kemerdekaannya India adalah juga negara yang miskin (penghasilan per kapita sekitar USD 50) dengan berbagai keterbelakangan sosial dan struktur masyarakat yang feodal. India beruntung karena sewaktu di bawah jajahan Inggris cukup banyak kaum elite-nya berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern dan menduduki posisi-posisi di birokrasi pemerintah kolonial. Sebagian juga berhasil menjadi pelaku-pelaku tangguh di bidang industri dan perdagangan. Pada saat kemerdekaannya kelompok elite ini memutuskan untuk mengadopsi demokrasi dan berkomitmen untuk mengawalnya. Apabila ada satu orang yang merupakan pengejawantahan komitmen itu, ia adalah Nehru. Nehru adalah seorang demokrat sejati. Menghadapi realitas sosial yang jauh dari ideal untuk demokrasi, dan pada waktu para pengamat pada tahun 1950an dan 1960an ramai-ramai meng-kontraskan prestasi ekonomi India yang medioker dengan pertumbuhan ekonomi Republik Rakyat Cina yang spektakuler, Nehru dan para elite India tetap tegar pada komitmennya pada demokrasi.24 Hasilnya, di India demokrasi, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, merupakan realita hidup selama enampuluh tahun, di Cina masih berupa cita-cita, sampai sekarang.

Sejarah juga mencatat bagaimana demokrasi ”dibajak” di tengah jalan karena kelompok pengawalnya tidak cukup kuat menghadapi pihak anti-demokrasi. 25 Jerman pada masa Republik Weimar (1919-1933) adalah negara demokratis dan bukan negara miskin. Krisis ekonomi yang berkepanjangan (hiperinflasi dan kemudian depresi) dan ketidakberdayaan pemerintah untuk menanganinya menyebabkan Hitler dan partai Nazi-nya, yang menjanjikan pengakhiran kesengsaraan itu, meraih suara mayoritas dalam pemilihan umum. Krisis ekonomi telah sangat memperlemah kelas menengah, pembawa panji demokrasi. Melalui proses demokrasi Hitler mengambil kendali negara, dan dari sana ia membunuh demokrasi.

Bagaimana di Indonesia? Kelompok pembaharu di Indonesia barangkali masih jauh lebih kecil daripada di India. Tetapi ia berkembang cepat, terutama sejak masa reformasi dan khususnya di kalangan kaum muda. Kita juga punya satu plus dibanding India – kondisi stratifikasi dan mobilitas sosial di Indonesia jauh lebih baik. Oleh karena itu kita semestinya tidak boleh terlalu pesimis mengenai prospek perkembangan demokrasi di Indonesia. Pertanyaan yang relevan adalah bagaimana kelompok ini dapat lebih didorong untuk memperkuat proses modernisasi dan demokratisasi di negara kita. Mengenai hal ini perkenankan saya menyampaikan sekedar pemikiran awal.

Pertumbuhan Ekonomi. Langkah yang paling efektif untuk memperkuat kelompok pembaharu, kembali lagi, adalah memacu pertumbuhan ekonomi yang tersebar (broad based), karena dari situlah awal terciptanya kelas menengah. Sebaliknya, kemunduran ekonomi dan krisis ekonomi harus dihindari karena dari situlah awal dari kepunahan kelas menengah. Saya telah singgung bahwa selain pertumbuhan ekonomi itu harus tersebar, ia harus memenuhi satu syarat lain, yaitu bersumber dari kegiatan-kegiatan enterpreunerial dalam iklim kompetisi yang sehat26. Hal ini penting karena akhirnya ia menentukan kelas menengah macam apa yang akan timbul. Pengalaman di sejumlah negara, dan sebagian dari pengalaman kita sendiri, mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berasal dari rezeki nomplok hasil penjualan kekayaan alam (seperti minyak) dapat menciptakan kelas menengah, tetapi lebih berupa kelompok konsumen kelas menengah. Kelompok ini belum tentu kelas menengah yang mempunyai komitmen untuk mengawal demokrasi. Demikian pula pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada praktek-praktek kroni-isme, kolusi antara penguasa dan pengusaha serta praktek-praktek monopolistik lainnya. Ia mungkin dapat menghasilkan laju yang tinggi, tapi ia tidak akan sustainable karena tidak akan melahirkan kelas menengah yang mau memperjuangkan demokrasi, good governance dan kepastian hukum. Yang muncul bukanlah kelompok pembaharu tetapi kelompok pemburu rente, bukan sistem ekonomi pasar yang penuh vitalitas tetapi kapitalisme palsu atau ersatz capitalism, yang lebih kompatibel dengan oligarki daripada dengan demokrasi.

Pengembangan UKM. Selain menciptakan iklim usaha dan iklim kompetisi yang sehat pemerintah dapat memacu terbentuknya kelompok pembaharu dengan mendorong perkembangan kelompok wirausaha yang tangguh melalui program-program khusus untuk menghilangkan kendala-kendala yang dihadapi oleh usaha kecil dan menengah untuk meng-akses pembiayaan, teknologi, layanan infrastruktur dan pasar. Pengusaha kecil dan menengah adalah embrio dari kelas menengah yang tangguh. Karenanya program pengembangan UKM merupakan elemen penting dalam upaya pengembangan demokrasi.

Pribumi-Non Pribumi. Satu permasalahan khusus dan sensitif yang dihadapi Indonesia sejak kemerdekaan adalah hubungan pengusaha pribumi dan non-pribumi. Saya tidak berpretensi dapat menyarankan solusi untuk permasalahan yang rumit ini. Saya hanya bisa mengatakan bahwa persoalan ini seyogyanya dibahas secara terbuka dan dicarikan pemecahannya bersama. Menurut pandangan saya, untuk kepentingan pembangunan Indonesia dalam jangka panjang, tidak ada solusi lain kecuali menyatukan kedua kekuatan itu untuk membangun bangsa. Upaya itu harus menjadi bagian dari program besar integrasi bangsa, dengan mengikis secara bertahap tapi sistematis sekat sosio-ekonomikultur al antara kedua kelompok ini. Masing-masing kelompok, atau lebih tepatnya kaum elite dari masing-masing kelompok, harus lebih membuka diri dan mengambil inisiatif untuk saling menjangkau dan dengan kejujuran mencari titik-titik temu, dengan seluas mungkin melibatkan generasi mudanya. Negara patut mendorong dan memfasilitasi secara adil dan sungguh-sungguh proses ini. Thailand dan Filipina, dengan cara mereka masing-masing, sudah melangkah lebih maju daripada kita. Malaysia barangkali belum terlalu jauh dari kita. Kita harus melihat proses ini sebagai bagian integral dari perjalanan panjang bangsa.

Pendidikan. Langkah penting lain untuk membentuk kelompok pembaharu yang handal adalah melalui pendidikan. Inilah yang terjadi di India. Ini pulalah yang terjadi di Indonesia di jaman Belanda, meskipun dengan jumlah yang jauh lebih kecil. Dengan segala keterbatasannya di masa penjajahan, pendidikan yang bermutu telah melahirkan kelompok elite yang tangguh. Di alam kemerdekaan, dengan segala kemudahan dan peluang yang terbuka, tidak ada alasan mengapa hasil serupa, atau yang lebih baik lagi, tidak terjadi. Sayangnya di negara kita hal itu belum terjadi. Mengapa? Kuncinya terletak pada materi pendidikan yang pas dan proses belajar-mengajar yang efektif. Keduanya masih perlu terus kita upayakan. Ada dua catatan penting di sini. Pertama, penyediaan pendidikan bermutu bagi elite bangsa harus didasarkan pada sistem seleksi terbuka berdasarkan prestasi atau merit system dan bukan berdasarkan hak-hak dan kedudukan istimewa. Kedua, agar demokrasi mengakar, pendidikan elite itu harus tetap dibarengi dengan pelaksanaan program pendidikan dasar yang bermutu dan terbuka lebar bagi semua anak Indonesia. Di bidang pendidikan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan.

Keterbukaan. Faktor pendukung penting lain bagi perkembangan kelas pembaharu adalah keterbukaan dengan dunia luar. Semakin terbuka dan semakin terintegrasi negara tersebut dengan komunitas dunia, semakin subur pertumbuhan kelas pembaharu di negara itu. Arus informasi, manusia, barang dan jasa serta investasi dari luar adalah katalis bagi perkembangan kelompok pembaharu. Indonesia sekarang tergolong negara yang paling bebas dari segi arus informasi. Sepanjang yang bisa kita lihat tidak ada hambatan sistemik bagi wartawan, akademisi, pengusaha, profesional, LSM asing untuk masuk ke Indonesia. Ini semua dapat dipastikan akan sangat membantu tumbuhnya kelompok pembaharu di negeri ini. Risiko keamanan memang ada, dan akan selalu ada. Tetapi, demi tujuan yang lebih besar, masalah itu harus tetap dikelola secara proporsional. Keikutsertaan Indonesia di banyak forum, baik regional maupun global, telah dan akan makin membuka pikiran kita terhadap praktek-praktek terbaik di dunia dan sangat berguna bagi upaya kita untuk membangun institusi-institusi pendukung modernisasi dan demokratisasi. Investasi dari luar negeri, terutama dari negara-negara yang menjunjung tinggi asas-asas good governance di negaranya, perlu kita buka lebar, bukan hanya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi kita, tetapi juga untuk meningkatkan mutu institusi-institusi bisnis dan pemerintahan kita. Ingat tidak jarang dunia usaha kita belajar praktek-praktek terbaik dari interaksi dan kemitraan mereka dengan perusahaan-perusaha an asing. Ingat pula bahwa perbaikan kinerja birokrasi kadangkala dipicu dan dipacu oleh adanya keluhan atau protes dari perusahaan-perusaha an asing yang beroperasi di sini. Dalam hal keterbukaan, menurut hemat saya, kita sudah di jalur yang benar. Jangan kita putar kembali jarum jam.27

Rekapitulasi

Sekarang marilah kita rekapitulasi apa saja yang telah kita bicarakan sampai saat ini. Kita memulai dengan bertanya ke mana perjalanan yang kita lakukan selama hampir sembilan tahun ini akan membawa kita? Apakah kita pada jalur yang akan membawa kita ke tujuan reformasi atau tidak? Jawabannya, dengan sejumlah catatan penting, adalah: ya, kita pada ”jalur yang benar”. Kita telah menjatuhkan pilihan, yaitu memilih jalur demokrasi untuk membangun bangsa kita. Dengan pilihan tersebut, serta dengan menarik pelajaran dari pengalaman kita sendiri dan pengalaman negara-negara lain yang mengikuti jalur ini, kita memperoleh gambaran mengenai jalan yang kemungkinan akan kita lalui ke depan.

Pada tahap awal faktor ekonomi Kemungkinan kegagalan demokrasi sangat penghasilan per kapita rendah dan secara progresif menurun dengan kenaikan penghasilan. Ekonomi dapat tumbuh tanpa demokrasi, selama rule of law dapat ditegakkan. Pada tingkat kemakmuran yang lebih tinggi, demokrasi pada gilirannya akan makin menjadi penentu sangat menentukan. tinggi pada tingkat keberlanjutan peningkatan kemakmuran. Hubungan positif timbal balik antara ekonomi dan demokrasi makin kuat.

Pada setiap tahap, peran kelompok pembaharu, yaitu suatu koalisi kekuatan lintas kelompok masyarakat yang disatukan oleh platform yang mendukung modernisasi dan demokratisasi, sangat krusial. Kelompok ini akan tumbuh subur dalam lingkungan ekonomi yang tumbuh secara tersebar (broad based) dan dilandasi oleh tatakelola yang baik dan iklim usaha yang sehat.

Risiko yang paling mendasar bagi Indonesia adalah bagaimana menjaga eksistensi dan keutuhan bangsa sepanjang perjalanan transformasinya. Kita memiliki modal politik yang cukup untuk ini, tetapi ia harus terus-menerus dipupuk kembali dan diperkuat. Program penguatan kesadaran berbangsa dan nation building harus tetap menjadi bagian integral dari pembangunan Indonesia. Keikutsertaan kita dalam globalisasi tidak boleh melengahkan kita dalam nation building.

Risiko besar kedua yang kita hadapi adalah tingkat kemakmuran ekonomi bangsa kita yang masih rendah sehingga risiko kegagalan demokrasi masih tinggi. Pada tahap ini Indonesia sebaiknya memberikan prioritas tertinggi bagi upaya memacu pertumbuhan ekonomi dan sejauh mungkin menghindari krisis ekonomi. Untuk mendukung kinerja ekonomi, kita harus berani menarik garis strategis mengenai imbangan yang pas antara teknokrasi dan demokrasi. Apabila hasil riset yang ada dapat kita jadikan pegangan, Indonesia masih akan memerlukan waktu paling tidak sembilan tahun lagi untuk mencapai ”zona aman” bagi demokrasinya. Sementara itu, berbagai kerawanan akan bersama kita dan demokrasi yang baru mekar ini perlu dikawal.

Risiko besar ketiga adalah apabila kelompok pembaharu yang handal tidak dapat berkembang. Apabila ini terjadi proses transformasi akan mandeg di tengah jalan atau membelok salah arah. Pengalaman sejarah kita dan negara lain mengindikasikan bahwa timbulnya KKN, kroni-isme dan praktek monopolistik merupakan faktor risiko besar yang menghadang kita. Kita tidak boleh mengulang pengalaman pahit kita. Kelompok pembaharulah yang diharapkan mengawal proses tranformasi agar tetap berjalan, dan berjalan di jalur yang benar. Perkembangan kelompok ini dapat dan perlu didorong dengan: (1) menjaga agar pertumbuhan ekonomi tersebar dan ditopang oleh good governance dan iklim usaha yang sehat, (2) mendorong perkembangan UKM, (3) mengupayakan penyatuan kekuatan pribumi dan non-pribumi, (4) menyediakan pendidikan bermutu bagi kelompok pembaharu dan (5) tetap menjaga keterbukaan dan interaksi kita dengan dunia luar. Itulah inti dari pembahasan kita hari ini. Semua langkah yang saya sebutkan hanya akan membuahkan hasil dalam jangka panjang. Generasi kita ditakdirkan untuk menanam, anak-cucu kita yang memanen.

Ungkapan Terimakasih

Terlalu banyak pihak yang berhak menerima apresiasi dan rasa terimakasih saya untuk saya sebut satu per satu. Untuk mengurangi risiko ada yang terlewatkan perkenankan saya menyampaikan rasa terimakasih yang tulus kepada semua sejawat dan rekan kerja di lingkungan Fakultas Ekonomi dan Universitas Gadjah Mada atas kerjasama dan persahabatan kita selama ini. Di Kampus Biru ini saya dibentuk dan dibesarkan. Universitas Gadjah Mada sudah menjadi bagian dari diri saya. Saya juga ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada semua rekan kerja dan sahabat di berbagai instansi di Jakarta atas kerjasama dan persahabatannya selama ini. Dengan segala keterbatasan, kita bersama-sama telah berupaya memberikan yang terbaik bagi bangsa. Keluarga saya meminta saya untuk tidak menyampaikan terimakasih bagi mereka. Tidak perlu, kata mereka. Mereka hanya meminta saya untuk memberikan lebih banyak perhatian dan waktu bagi mereka. Untuk sementara ini, nampaknya permintaan ini belum dapat saya penuhi. Terakhir saya mengucapkan terimakasih kepada seluruh hadirin yang telah berkenan meluangkan waktu untuk hadir pada acara hari ini. Demikianlah seluruh uraian saya. Semoga Tuhan selalu melimpahkan rakhmat-Nya kepada kita semua. Terimakasih.



Download versi Ms. Wordnya disini.

You Might Also Like

0 komentar