“Menulis adalah sebuah keberanian...” ― Pramoedya Ananta Toer

Padhang Wengi

Jadilah cahaya ditengah kegelapan

Indonesia dalam Cengkraman Korporatokrasi Global

By 11:33 PM ,

Pengertian Awal

Korporatokrasi pada dasarnya merupakan merupakan sebuah system yang terdiri dari berbagai kumpulan kekuasaan baik yang berada dalam tingkatan nasional maupun internasional untuk mecapai suatu tujuan kolektif. John Perkins mengunakan istilah korporatokrasi untuk menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, maka berbagai korporasi global, bank, dan dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan financial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka[1].

Korporatokrasi hadir dalam sebuah system yang tersusun secara sistematis yang menguasai berbagai unsur politik (kekayaan, militer, media massa dsb) untuk mengumpulkan dan mengakumulasi sumber daya alam secara terus-menerus. Pada prinsipnya korporatokrasi bekerja hampir sama dengan system kapitalisme bekerja. Tetapi korporatokrasi tidak hanya menggunakanmodal yang dimilikinya untuk terus melakukan pengakumulasian modalnya menjadi lebih banyak, lebih lanjut korporatokrasi juga menggunakan elemen-elemen lain selain elemen kapitalisme itu sendiri. Dengan kata lain korporatokrasi merupakan metamorphosis kapitalisme yang berkembang terus dalam proses dialektika dan seleksi alam yang menyertainya. Menurut Bapak Amien Rais, korporatokrasi memiliki 7 unsur, yaitu: korporasi-korporasi besar; kekuatan politik pemerintahan tertentu, terutama Amerika dan kaki tangannya; perbankan internasional; kekuatan militer; media massa; kaum intelektual yang dikooptasi; dan terakhir yang tidak kalah penting adalah elite nasional Negara-negara berkembang yang bermental inlander, komprador atau pelayan[2].

Bagaimana Korporaktokrasi berjalan?

Seperti yang ditulis oleh Bapak Amien Rais bahwa unsur-unsur korporatokrasi itu sendiri meliputi 7 unsur. Setiap unsur-unsur itu bekerja erat satu sama lain untuk membentuk suatu system yang menguntungkan untuk korporatokrasi itu sendiri. Korporasi besar itu sendiri awalnya hanya bergerak dalam wilayah Negara induknya saja. Tapi setelah terjadinya over production, mereka melakukan ekspansi dan eksploitasi ke Negara-negara lain yang mempunyai orientasi awal yaitu akumulasi keuntungan yang dilakukan secara terus menerus. Hal ini terjadi pada Negara-negara yang menjalankan system kapitalisme sebagai system ekonominya. Contoh yang sangat nyata adalah Amerika Serikat. Didalam system kapitalisme itu sendiri tidak mengenal adanya batasan nilai, apapun bentuk nilai tersebut. Satu-satunya nilai yang diakui adalah akumulasi modal itu sendiri. Korporasi-korporasi besar melakukan ‘penjajahan’terhadap Negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia dengan cara melakukan deregulasi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan dari Negara-negara tersebut agar menguntungkan pihak korporasi itu sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan bantuan lembaga-lembaga perbankan internasional (khususnya IMF dan World Bank) yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada korporasi-korporasi tersebut. Dengan kata lain, negara-negara dunia ketiga harus mematuhi kebijakan lembaga internasional tersebut karena terikat pada suatu perjanjian internasional. Hal ini tentunya sangat merugikan Negara-negara dunia ketiga karena tidak lain dan tidak bukan lembaga internasional itu sendiri merupakan ‘bagian’ dari korportokrasi global. ‘Penjajahan’ ini diperparah oleh elit birokrasi Negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang bermoral inlander. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jelas-jelas memihak korporasi tersebut karena pembuat kebijakan itu sendiri sudah tidak tahu ‘siapa dirinya’.

Keuntungan yang didapat oleh Korporatokrasi

Pada dasarnya korporatokrasi itu ada berpusat dari adanya korporasi-korporasi besar yang ada di dunia. Dengan kekuatan modal yang mereka punyai, mereka dapat membentuk suatu tatanan baru dunia. Tujuan mutlak korporasi adalah mencai keuntungan maksimal dengan biaya minimal dan waktu minimal[3]. Penelitian di Amerika menunjukkan bahwa kejahatan kerah putih (white collar crime) di Amerika merugikan Negara sebesar 300-500 miliar dollar per tahun. Tapi jika diperbandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan biasa sangat menunjukkan perbendaan yang sangat signifikan yaitu kejahatan biasa hanya 3,8 milyar dollar per tahun[4]. Hal ini merupakan kasus yang sungguh ironis. Belum lagi keuntungan yang didapat dari pengurasan sumber daya alam dari Negara dunia ketiga yang terikat kontrak dengan para korporasi-korporasi besar tersebut. Jutaan atau bahkan miliaran dollar hanya dinikmati oleh korporasi-korporasi tersebut.

Dampak bagi Negara Dunia Ketiga

Negara-negara yang paling terkena dampak dari system eksploitasi seperti ini adalah Negara Dunia Ketiga. Hal ini terjadi karena sumber daya alam yang ada di Negara tersebut tidak bisa dinikmati oleh rakyatnya sendiri, melainkan dinikmati oleh korporasi-korporasi tersebut. Kenyataan ini harus diterima oleh Negara-negara tersebut. Sementara kondisi pendidikan, ekonomi dan keshatan bagi rakyat Negara dunia ketiga yang memprihatinkan, tapi di sisi lain keuntungan sumber daya alam yang ada di tanah mereka malah dinikmati oleh pihak lain. Di Indonesia, kasus yang paling mencolok dan mendapat sorotan media adalah kasus Freeport. Miliaran dollar dihasilkan oleh tambang-tambang milik Freeport, tetapi kondisi masyarakat papua sendiri masih dalam kondisi yang mengenaskan. Hal ini terjadi karena proses penghisapan yang dilakukan oleh para korporatokrasi itu sendiri didalam wilayah Indonesia yang semakin lama semakin menancapkan kukunya di bumi pertiwi ini.

Bagaimana Indonesia melepaskan diri dari cengkraman Korporatokrasi Global

Indonesia sudah sangat lama dalam cengkraman korporatokrasi global. Sejak jaman Orde Baru, investor-investor asing masuk dengan pengesahan UU dari DPR. Harus dilihat bahwa sebenarnya masalah di Indonesia terjadi karena elite birokratnya ‘lupa’ siapa sebenarnya mereka. Hal ini menjadikan keputusan yang dibuat tidak berdasar pada kepentingan rakyat Indonesia sendiri, melainkan untuk kepentingan korporasi asing. Maka daripada itu untuk mengentaskan permsalahan di Indonesia adalah dengan mencari orang-orang yang duduk di pemerintahan tidak lupa kenapa mereka ada disitu? Dan momen pemilu 2009 merupakan langkah yang cukup menentukan apakah Indonesia akan mendapatkan pemimpin yang tidak ‘pelupa’ atau Indonesia akan mendapatkan pemimpin yang akan meneruskan penjajahan asing terhadap negeri ini. 

[1] Amien Rais “Agenda Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia” PPSK Press, Yogyakarta. Hal. 81 yang dikuti dari bukunya John Perkins, Confesions of an Economic Hit Man, London, Penguin Books Ltd, 2006.

[2] Ibid., hal. 83.

[3] Ibid,. hal. 84.

[4] Corporate Crime Reporter, http//www.corporatecrimereporter.com/top 100.html/ yang dikutip dalam bukunya Amien Rais, Agenda Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia.

You Might Also Like

0 komentar