“Menulis adalah sebuah keberanian...” ― Pramoedya Ananta Toer

Padhang Wengi

Jadilah cahaya ditengah kegelapan

Polemik Tempe

By 8:42 PM ,

Ilustrasi harga kedelai (solopos.com)
Harga tempe dan berbagai jenis makanan yang berasal dari kedelai saat ini sedang terombang-ambing dengan harga yang tidak menentu. Naiknya harga tempe, tahu dan berbagai macam jenis makanan yan berasal dari kedelai disebabkan tidak lain oleh minimnya stok kedelai nasional yang membuat pedagang kedelai menaikkan harga jual kedelai. Kondisi tersebut berimbas pada para pengrajin tahu tempe di berbagai wilayah di Indonesia. Berbagai cara dilakukan agar para pengrajin tetap beroperasi dengan minimnya bahan baku. Mulai dari memperkecil ukuran tempe, mengurangi jumlah produksi atau bahkan mengurangi jumlah karyawan sebagai bentuk pengurangan biaya produksi yang dilakukan oleh pengrajin tahu tempe agar usahanya tidak gulung tikar. Namun tidak jarang berbagai usaha yang dilakukan oleh para pengrajin tempe tidak berpengaruh begitu besar bagi usahanya. Di berbagai daerah, para pengusaha tahu tempe tetap saja berguguran satu persatu karena tingginya harga bahan baku dan membuat cost of production melambung tinggi.

Masalah tempe menjadi polemik tersendiri di Indonesia karena makanan tersebut merupakan makanan yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Jumlah produksinya juga berbanding lurus dengan jumlah masyarakat Indonesia. Artinya, semakin naiknya jumlah populasi di Indonesia, maka semakin besar pula produksi tahu tempe di pasaran. Maka tidak aneh jika kebutuhan kedelai nasional pun akan semakin bertambah untuk mencukupi kebutuhan nasional. Jika konstruksi pemikiran masyarakat sejak dulu yang melihat bahwa tahu tempe merupakan makanan orang menengah kebawah namun kondisi sekarang sangat berbeda. Jika masalah tempe ini tidak terselesaikan, maka dapat dipastikan bahwa tahu tempe akan menjadi makanan yang hanya akan dikonsumsi oleh kalanga menengah keatas. Mungkin jika ingin lebih jauh berandai-andai, tahu tempe bisa saja menjadi sejarah karena ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh tingginya harga produksi.

Permasalahan yang mendasar dapat dilihat dari segi ketidakseimbangannya jumlah bahan baku produksi dengan kebutuhan produksi tahu tempe itu sendiri. Produksi yang besar tidak diimbangi oleh bahan baku yang besar pula. Akhirnya untuk menutup ketidakseimbangan tersebut, pemerintah melalui institusi terkait menggunakan metode impor sebagai salah satu cara untuk menutupi kebutuhan produksi tahu tempe. Namun harus dilihat bahwa metode impor, pada dasarnya merupakan metode yang sifatnya jangka pendek dimana kebijakan tersebut hanya untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang terjadi pada momen-momen tertentu (misalnya lebaran atau hari besar lainnya) dimana jumlah permintaan tahu tempe sedang tinggi. Namun kebijakan jangka panjang melalui swasembada pangan tidak terlalu diperhatikan. Ditambah juga keuntungan para importir yang ingin terus meraup keuntungan dengan situasi ekonomi yang tidak menentu menambah daftar panjang salah urus negeri ini. 

Setiap tahun, kebutuhan kedelai dalam negeri sekitar 2,5 juta ton per tahun dimana 700-800 ton per tahun merupakan produksi dalam negeri[1]. Tak ayal, sisa dari kekurangan tersebut harus ditutupi oleh impor dari luar negeri melalui para importir. Bagi para importir sendiri, kondisi tersebut merupakan lahan menguntungkan yang harus digarap. Pemerintah sendiri tidak menempatkan kebijakan produksi dalam negeri sebagai prioritas utama yang harus dijalankan dalam menangani masalah pangan di Indonesia. Padahal, kebijakan impor merupakan kebijakan yang sifatnya sangat beresiko. Impor sendiri merupakan kebijakan yang sangat tergantung dengan kondisi perekonomian global. Jika kondisi perekonomian global sedang tidak menentu, kondisi tersebut juga akan berimbas pada harga barang-barang yang berhubungan dengan barang-barang impor. Mungkin kondisinya tidak terlalu parah jika barang-barang impor tersebut merupakan barang yang tidak berhubungan dengan kelangsungan hidup (elektronik, sandang, dll) secara langsung, namun jika barang tersebut merupakan barang-barang yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup (pangan, energi, dll) maka kondisinya akan lain.

Dari kebijakan yang salah tersebut, akhirnya muncul oknum-oknum yang mencari keuntungan sendiri melalui naiknya harga pangan tersebut, terutama kedelai. Kartel atau mafia pangan tersebut mencoba memainkan harga untuk meraup keuntungan yang tinggi. Pemerintah yang menetapkan harga khusus kedelai oleh Kementerian Perdagangan dalam bentuk harga jual pemerintah sebesar Rp 8.490 per kilogram masih terlalu tinggi. Dalam dua bulan, pelaku aksi ambil untung dari kebijakan tata niaga kedelai yang tidak tepat ini bisa meraup lebih dari Rp 1 triliun. Menurut Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny A Kusbini, Rabu (Tribunnews.com-11/9/2013), tidak seharusnya para importir menjual kedelai dengan harga setinggi itu. 
”Kalaupun ada kenaikan harga akibat depresiasi rupiah atas dollar AS, seharusnya baru terjadi pertengahan Oktober 2013, bukan sekarang,” katanya.
Kedelai yang dijual para importir saat ini sudah dibeli dua bulan lalu atau sebelumnya. Jadi, kedelai masih harga lama, yaitu Rp 5.600-Rp 6.000 per kilogram. Sementara depresiasi rupiah baru terjadi Agustus 2013. Stok kedelai di tangan importir biasanya 1,5 kali kebutuhan bulanan atau 300.000 ton. Selain itu, stok di perjalanan sekitar 200.000 ton. Jadi, total stok menjadi 500.000 ton, yang dibeli dengan harga lama tersebut. Dengan menjual kedelai Rp 8.490 per kilogram, dipotong biaya pengapalan dan asuransi, para importir masih mengantongi untung minimal Rp 2.000 per kilogram atau Rp 1 triliun hanya dalam waktu dua bulan. Itu keuntungan minimum karena hanya 11.900 ton kedelai dijual dengan harga khusus itu. Lebih dari 488.000 ton dijual dengan harga pasar yang lebih tinggi[2]

Bukan cuma faktor eksternal, naiknya nilai tukar USD terhadap rupiah, namun juga faktor internal, yaitu salah urus terhadap masalah pangan di Indonesia menjadi problem yang sampai saat ini belum teratasi di Indonesia. Kasus-kasus serupa akan terjadi lagi di kemudian hari, baik dalam kasus kedelai ataupun kasus pangan yang lain, jika pemerintah tetap mempergunakan kebijakan jangka pendeknya dalam menangani kasus pangan di Indonesia karena pangan merupakan kebutuhan dasar yang menunjang keberlangsungan hidup manusia. Apalagi dalam kondisi dan situasi perekonomian global yang tidak menentu, menjadi ukuran agar Indonesia tidak mengandalkan bahwa impor merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah pangan di Indonesia. Kedaulatan Pangan adalah kedaulatan rakyat Indonesia. 



You Might Also Like

0 komentar